Aksara jawa atau huruf jawa merupakan salah satiu dari kebudayaan jawa yang hatus kita lestarikan, maka dari itu saya menuliskan artikel ini. Dan saya cuma ingin berbagi kepada kalian semua tentang sejarah huruf jawa ini karena anak muda jaman sekarang sudah tidak peduli lagi dengan kebudayaan sendiri. Simak ceritanya sebagai berikut . . . . :)
Kisah dimulai dari P.Majethi, hidup seorang satria bernama Ajisaka. Selain ganteng, Ajisaka juga punya
ilmu tinggi dan sakti. Ajisaka punya dua orang punggawa bernama Dora san
Sembada. Dua orang itu sangat setia dan nurut sama Ajisaka. Suatu hari,
Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majethi.
Dora pergi menemani Ajisaka sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau
Majethi karena Ajisaka memerintahkan Sembada untuk menjaga pusaka
Ajisaka yg paling sakti. Ajisaka berpesan pada Sembada bahwa Sembada ga
boleh menyerahkan pusaka itu kepada siapapun kecuali Ajisaka.
Nah, pada waktu itu di Jawa ada negara yang terkenal makmur, aman,
dan damai, yang berjudul Medhangkamulan. Negara itu dipimpin oleh Prabu
Dewatacengkar, raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Seuatu hari, juru
masak kerajaan tidak sengaja memotong jarinya waktu masak. Juru masak
itu ga sadar bahwa potongan jarinya masuk ke hidangan yang akan
disuguhkan kepada Sang Raja. Tanpa sengaja juga, jari itu termakan oleh
Prabu Dewatacengkar. Ga disangka, Prabu Dewatacengkar merasa daging yang
dia makan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya menanyai juru
masak kerajaan. Ternyata kemudian diketahui bahwa yang tadi dimakan oleh
Prabu Dewatacengkar adalah daging manusia, ia memerintahkan kepada
patihnya untuk menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap setiap
harinya. Sejak itu Prabu Dewatacengkar punya hobi baru, yaitu makan
danging manusia. Wataknya berubah jadi jahat dan senang melihat orang
menderita. Negara itu berubah jadi negara yang sepi karena satu per satu
rakyatnya dimakan oleh rajanya, ada juga rakyat yang lari menyelamatkan
diri. Sang Patih bingung, karena ga ada lagi rakyat yang bisa
disuguhkan kepada rajanya.
Saat itulah Ajisaka bersama Dora sampe di Medhangkamulan. Ajisaka
heran melihat keadaan negara yang sunyi dan menyeramkan itu, kemudian ia
mencari tahu sebabnya. Setelah tau apa yang terjadi di Medhangkamulan.
Ajisaka lalu menghadap Patih, menyatakan bahwa ia sanggup menjadi
santapan Sang Raja. Awalnya Sang Patih tidak mengijinkan Ajisaka yang
masih muda dan (ehem..) ganteng jadi santapan Prabu Dewatacengkar, tapi
Ajisaka tetep maksa sampe akhirnya dia dibawa juga untuk menghadap Prabu
Dwatacengkar. Sang Prabu juga heran, kenapa orang yang masih muda dan
tampan mau-mau aja jadi santapannya. Ajisaka mengajukan syarat, dia rela
dimakan Sang Prabu asal dia dihadiahi tanah seluas ikat kepalanya.
Selain itu, Ajisaka juga minta Prabu Dewatacengkar sendiri yang mengukur
tanah tersebut. Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Ajisaka
kemudian meminta Prabu Dewatacengkar menarik salah satu ujung ikat
kepalanya. Ajaibnya, ikat kepala itu mulur terus kayak ga ada habisnya.
Prabu Dewatacengkar terpaksa mundur dan mundur terus mengikuti ikat
kepala itu sampe di tepi laut selatan. Ajisaka mengibaska ikat kepala
tersebut, hal ini membuat Prabu Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud
Prabu Dewatacengkar lalu berubah menjadi buaya putih, sedangkan Ajisaka
menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah jadi raja, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulao Majethi untuk
ngambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Sampe di Pulau Majethi, Dora
menjelaskan pada Sembada bahwa dia datang atas perintah Ajisaka untuk
mengambil pusaka yang dijaga Sembada. Sembada yang patuh pada pesan
Ajisaka ga mau ngasih pusaka itu ke Dora. Dora memaksa agar pusaka itu
diserahkan ke dia. Akhirnya dua orang itu bertarung. Karena dua-duanya
sama-sama sakti, pertarungan berlangsung seru sampai mereka berdua
tewas.
Prabu Ajisaka mendengar kabar kematian Dora san Sembada. Dia menyesal
mengingat kelalaiannya dan kesetiaan Dora dan Sembada. Untuk
mengabadkan dua punggawanya itu Ajisaka menciptakan sebuah aksara yang
bunyinya :
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Sumber :
http://ashiiqa.wordpress.com/2007/12/20/kisah-ajisaka-asal-mula-aksara-jawa/
Tuesday, July 31, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment