Tuesday, July 31, 2012

Aksara sunda kuna

0 comments
Aksara Sunda Kuna merupakan aksara yang berkembang di daerah Jawa Barat pada Abad XIV-XVIII yang pada awalnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda Kuna. Aksara Sunda Kuna merupakan perkembangan dari Aksara Pallawa yang mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah lontar pada Abad XVI.

Sejarah

Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi.
Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuna sudah begitu lama tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke wilayah Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu para menak Sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan ikon-ikon Jawa.
Bahkan VOC pun membuat surat keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya meliputi Aksara Latin, Aksara Arab Gundul (Pegon) dan Aksara Jawa (Cacarakan). Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 3 November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa Cirebon yang menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu Aksara Sunda Kuno terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi mengenal aksaranya. Kalaupun masih diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun 1950-an, rupanya salah kaprah. Pasalnya, yang dipelajari saat itu bukanlah Aksara Sunda Kuna, melainkan Aksara Jawa yang diadopsi dari Mataram dan disebut dengan Cacarakan.

Sunda Kuna dan Sunda Baku

Pada awal tahun 2000-an pada umumnya masyarakat Jawa Barat hanya mengenal adanya satu jenis aksara daerah Jawa Barat yang disebut sebagai Aksara Sunda. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa setidaknya ada empat jenis aksara yang menyandang nama Aksara Sunda, yaitu Aksara Sunda Kuna, Aksara Sunda Cacarakan, Aksara Sunda Pegon, dan Aksara Sunda Baku. Dari empat jenis Aksara Sunda ini, Aksara Sunda Kuna dan Aksara Sunda Baku dapat disebut serupa tapi tak sama. Aksara Sunda Baku merupakan modifikasi Aksara Sunda Kuna yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Modifikasi tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Sunda_Kuna

Asal usul huruf jawa

0 comments
Aksara jawa atau huruf jawa merupakan salah satiu dari kebudayaan jawa yang hatus kita lestarikan, maka dari itu saya menuliskan artikel ini. Dan saya cuma ingin berbagi kepada kalian semua tentang sejarah huruf jawa ini karena anak muda jaman sekarang sudah tidak peduli lagi dengan kebudayaan sendiri. Simak ceritanya sebagai berikut . . . . :)

Kisah dimulai dari P.Majethi, hidup seorang satria bernama Ajisaka. Selain ganteng, Ajisaka juga punya ilmu tinggi dan sakti. Ajisaka punya dua orang punggawa bernama Dora san Sembada. Dua orang itu sangat setia dan nurut sama Ajisaka. Suatu hari, Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majethi. Dora pergi menemani Ajisaka sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi karena Ajisaka memerintahkan Sembada untuk menjaga pusaka Ajisaka yg paling sakti. Ajisaka berpesan pada Sembada bahwa Sembada ga boleh menyerahkan pusaka itu kepada siapapun kecuali Ajisaka.
Nah, pada waktu itu di Jawa ada negara yang terkenal makmur, aman, dan damai, yang berjudul Medhangkamulan. Negara itu dipimpin oleh Prabu Dewatacengkar, raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Seuatu hari, juru masak kerajaan tidak sengaja memotong jarinya waktu masak. Juru masak itu ga sadar bahwa potongan jarinya masuk ke hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Raja. Tanpa sengaja juga, jari itu termakan oleh Prabu Dewatacengkar. Ga disangka, Prabu Dewatacengkar merasa daging yang dia makan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya menanyai juru masak kerajaan. Ternyata kemudian diketahui bahwa yang tadi dimakan oleh Prabu Dewatacengkar adalah daging manusia, ia memerintahkan kepada patihnya untuk menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap setiap harinya. Sejak itu Prabu Dewatacengkar punya hobi baru, yaitu makan danging manusia. Wataknya berubah jadi jahat dan senang melihat orang menderita. Negara itu berubah jadi negara yang sepi karena satu per satu rakyatnya dimakan oleh rajanya, ada juga rakyat yang lari menyelamatkan diri. Sang Patih bingung, karena ga ada lagi rakyat yang bisa disuguhkan kepada rajanya.
Saat itulah Ajisaka bersama Dora sampe di Medhangkamulan. Ajisaka heran melihat keadaan negara yang sunyi dan menyeramkan itu, kemudian ia mencari tahu sebabnya. Setelah tau apa yang terjadi di Medhangkamulan. Ajisaka lalu menghadap Patih, menyatakan bahwa ia sanggup menjadi santapan Sang Raja. Awalnya Sang Patih tidak mengijinkan Ajisaka yang masih muda dan (ehem..) ganteng jadi santapan Prabu Dewatacengkar, tapi Ajisaka tetep maksa sampe akhirnya dia dibawa juga untuk menghadap Prabu Dwatacengkar. Sang Prabu juga heran, kenapa orang yang masih muda dan tampan mau-mau aja jadi santapannya. Ajisaka mengajukan syarat, dia rela dimakan Sang Prabu asal dia dihadiahi tanah seluas ikat kepalanya. Selain itu, Ajisaka juga minta Prabu Dewatacengkar sendiri yang mengukur tanah tersebut. Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu Dewatacengkar menarik salah satu ujung ikat kepalanya. Ajaibnya, ikat kepala itu mulur terus kayak ga ada habisnya. Prabu Dewatacengkar terpaksa mundur dan mundur terus mengikuti ikat kepala itu sampe di tepi laut selatan. Ajisaka mengibaska ikat kepala tersebut, hal ini membuat Prabu Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewatacengkar lalu berubah menjadi buaya putih, sedangkan Ajisaka menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah jadi raja, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulao Majethi untuk ngambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Sampe di Pulau Majethi, Dora menjelaskan pada Sembada bahwa dia datang atas perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka yang dijaga Sembada. Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka ga mau ngasih pusaka itu ke Dora. Dora memaksa agar pusaka itu diserahkan ke dia. Akhirnya dua orang itu bertarung. Karena dua-duanya sama-sama sakti, pertarungan berlangsung seru sampai mereka berdua tewas.
Prabu Ajisaka mendengar kabar kematian Dora san Sembada. Dia menyesal mengingat kelalaiannya dan kesetiaan Dora dan Sembada. Untuk mengabadkan dua punggawanya itu Ajisaka menciptakan sebuah aksara yang bunyinya :
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)

Sumber :
http://ashiiqa.wordpress.com/2007/12/20/kisah-ajisaka-asal-mula-aksara-jawa/

Cikal bakal nama Indonesia

0 comments
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").



Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]
Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").

Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia

Monday, July 2, 2012

AirStrike II : Gulf Thunder

4 comments

Game keluaran Divo Games ini  akan mengantar kita untuk menjadi pilot helikopter yang berada di medan perang. Kita di tugaskan untuk menghancurkan beberapa objek. Dalam game ini ada 3 helikopter dengan speed dan armor yang berbeda yaitu Red Hawk, Steel Falcon, Sky Keeper. Dalam game ini juga ada 2 boss yang siap menyerang yaitu mobil jeep dan mogadhisu dengan peluncur roket sebagai senjatanya. 

System Requirements 
  • Windows 2000, XP, Windows 7
  • 400 MHz Pentium 3 or equivalent
  • 128MB RAM
  • DirectX 8.0, 9.0
Screenshot

Install game hingga selesai, lalu klik AirStrike3D II - Gulf-WT.exe untuk memainkan gamenya
Yang mau mencoba game ini, langsung download aja dengan klik link di bawah ini